Monday, August 29, 2016

Memori

Berpuluh tubuh di kota
jadi lebih kerdil
dan menginginkan segala

Berpuluh tubuh di kamar kecil
jadi lebih dingin
dan mengiakan perpisahan

Berpuluh tubuh
tidak mengenali masing-masing
dan mereka menyembunyikan suatu penyesalan

Sunday, August 21, 2016

Kuning Taman Kita

Kata-kata
Rindu
dan keinginan
yang kekuningan
di pinggir jalan
laman
dan taman-taman
adalah pesan
yang tidak mampu
mengabadikan apa pun

Lamanmu lebih luas
dan bercahaya
tapi pagarnya tertutup
untuk impian
dan tentang mata seorang kita

Lampu yang Menyala itu

Lampu yang menyala itu
adalah alas rumahmu
sebelum habis
reput dimakan anai-anai
melindung tiangnya
dari ketiadaan yang menghantuimu

Lampu yang menyala itu
tidak lain cuma bibirmu
menyatakan cinta
dan lampuku padam
diam-diam
ditelan keraguanmu


(Diilham dari puisi Khoer Jurzani)
(Lampu yang Menyala itu : Dua Bait Rahasia, 2015)

Jalan yang Kita Pilih

Senja ini, ada jalan yang mengimpikan tentangmu, tentang wajahmu yang meliar mencari-cari suatu kesempurnaan. Ia beberapa kali mengetuk pintuku; untuk bercerita tentangmu. Aku menyuap ego dengan berdiam diri dan merenung jauh di jendela sehingga berbekas wajahku dengan habuk kemarin. Mata lebih pedih dan mengalir dari ruang-ruang kecil penjuru pintu, kamar dan jendela puisiku.

Siapakah gerangan dirinya?

Tentang semurna, tentang cinta yang ingin kau kagumkan. Aku lebih asyik di meja gerimis dan kertas terbuang, kekuningan menanti namamu melompat ke setiap adanya puisi indah. Selama mungkin, kita akan tidak sekalipun menemukan seseorang yang lebih hampir dengan kenangan dan bintang-bintang di langit. Tentang bintang-bintang di langit, kita jadi saksi kesudahan mimpi kita sendiri.

Jalan ini sempurna rindunya. Tetaplah kau menjadi malam, sajak-sajak kuno dan pagi yang memberiku harapan selama ini. Biar kita menua di antara kegusaran dan ketidaksempurnaan, aku akan selalu menyempurnakan doa - doa buatmu, juga kita yang tidak lagi bertentang. Anak - anakmu akan lebih mengenalku di dalam ketiadaan dan kepalsuan. Biar saja aku jadi jarak yang tidak pernah memisahkan kau dengan bahagia yang kau perlukan.

Aku akan terus hidup seribu tahun lagi
Jadi saksi
Tentang siang dan impian
Tentang malam dan kesempurnaan
Mengasihiku
Sebagai ketiadaan
dan terasing jalannya


Saturday, August 20, 2016

Malam Mula Menggigit Kemaafan

Di antara cahaya bulan dan hujan, ada pesta yang tertangguh. Malam jadi hangat dengan keinginan orang-orang kota untuk berhibur dan bersuka-ria. Aku jadi heran. Apa tidak lagi ada lelaki yang sedang berduka malam ini?

Jalanraya semakin surut dengan lampu yang kecewa. Aku menghindar terik kota dan baunya. Orang kampung cuma kampung tempatnya; ia bahagia. Lelaki ini sedang kecewa. Matahari juga malu-malu lalu bulan padam malam ini. Malam ini ia gelap dan menyatakan ketidakmampuannya. Gerimis pula mengiringi perjalanan pulang selangkah demi selangkah di antara gugur daun oleh angin yang gigih ingin menyebut namamu.

Apa salahnya jika lelaki menangis?

Ketika anaknya mula melepaskan wajahmu diam-diam, aku masih menghimpun doa-doa lupa ku utus di dalam namamu. Aku jadi lebih sangsi tentang dunia. Apa ia lebih awal menggariskan beza sehingga kita terjaga dari mimpi paling sempurna?

Not-not musika mulai menyusun dirinya. Kau adalah lagu yang paling sempurna pernah ku mainkan. Di dadamu ada cinta yang tertewas. Kita sudah meragui  kepayahan yang pernah ada untuk tertemukan. Langit menguning menandakan sajak-sajak sudah hampir mati. Dadaku jadi alas sebuah kekecewaan.

Apa yang lebih membunuh selain tubuh yang gigih menginginkanmu?