Saturday, August 20, 2016

Malam Mula Menggigit Kemaafan

Di antara cahaya bulan dan hujan, ada pesta yang tertangguh. Malam jadi hangat dengan keinginan orang-orang kota untuk berhibur dan bersuka-ria. Aku jadi heran. Apa tidak lagi ada lelaki yang sedang berduka malam ini?

Jalanraya semakin surut dengan lampu yang kecewa. Aku menghindar terik kota dan baunya. Orang kampung cuma kampung tempatnya; ia bahagia. Lelaki ini sedang kecewa. Matahari juga malu-malu lalu bulan padam malam ini. Malam ini ia gelap dan menyatakan ketidakmampuannya. Gerimis pula mengiringi perjalanan pulang selangkah demi selangkah di antara gugur daun oleh angin yang gigih ingin menyebut namamu.

Apa salahnya jika lelaki menangis?

Ketika anaknya mula melepaskan wajahmu diam-diam, aku masih menghimpun doa-doa lupa ku utus di dalam namamu. Aku jadi lebih sangsi tentang dunia. Apa ia lebih awal menggariskan beza sehingga kita terjaga dari mimpi paling sempurna?

Not-not musika mulai menyusun dirinya. Kau adalah lagu yang paling sempurna pernah ku mainkan. Di dadamu ada cinta yang tertewas. Kita sudah meragui  kepayahan yang pernah ada untuk tertemukan. Langit menguning menandakan sajak-sajak sudah hampir mati. Dadaku jadi alas sebuah kekecewaan.

Apa yang lebih membunuh selain tubuh yang gigih menginginkanmu?


No comments: